supaya kamu tahu
Posted on Selasa, 11 Februari 2014 @ 19.27 < 1 comments >
Seharian ini air mata udah bercucuran di banyak tempat, mulai dari ruang keluarga, Lab. Bahasa, dari satu kelas ke kelas lain, dari koridor sampai toilet perempuan di lantai satu gedung induk. Semuanya karena aku lihat sekolah, ketemu kamu di parkiran dan kamu langsung memalingkan wajah karena tahu yang kita bicarain semalem jelas bikin aku nggak lagi sama seperti sebelum aku baca sms-mu.

Aku nggak yakin bahwa kamu nggak tahu yang sebenernya terjadi. Aku juga nggak tahu apa kamu benar-benar mengerti atau tidak sama sekali. Atau mungkin, kamu berpura-pura sepanjang waktu telah terlewati. 

Aku pengen bilang kalo kamu bodoh kalau kamu nggak tahu. 
Aku percaya dan yakin kamu tahu.
Yang nggak bisa aku protes adalah keputusanmu untuk mengabaikan atau berpura-pura.

Gimana aku harus menahan semua rasa gemasku waktu kamu melakukan semua hal kecil yang aku sukai. Seperti waktu kamu mengajari aku, seperti waktu kamu tersenyum dan tertawa di hadapanku, di sampingku. Kamu hanya berjarak tiga puluh senti setiap kita belajar bersama, aku harus menahan perasaanku sendiri. Mengatur raut wajahku sebiasa mungkin supaya tidak ada semu di pipiku. Kamu begitu dekat waktu itu, tapi rupanya hanya waktu-waktu itu.

Aku pikir aku sudah lupa.

Setelah yang lalu-lalu aku pikir aku sudah lupa tentangmu. Tapi kenyataannya, aku baru sadar bahwa aku lebih peduli dari yang aku kira. 

Dan keputusanmu soal masa depanmu itu membuatku terhenti. Kemudian aku berpikir, berapa banyak hari yang masih aku punya untuk melihatmu sedekat itu? Berapa kesempatan lagi untukku mempelajari semua materi bersamamu? Aku tak tahu, dan aku terkesiap. Sekolah akan berakhir setelah UN. Waktuku tak sebanyak itu. Ditambah sibukmu, sibukku, jadwalmu, jadwalku, kecil kemungkinan aku bisa memperoleh kesempatan itu lagi.

Lalu aku menangis. Menangis sekencang-kencangnya. Bulir itu berjatuhan begitu saja. Kau mau tahu apa yang aku rasakan? Rasanya kosong, penulis yang menyatakan bahwa ada bagian hati yang terasa hilang saat kamu mengetahui sesuatu yang tidak ingin kau dengar benar adanya. Aku merasakannya, setelah kusimpan hatiku supaya tidak serompal seperti dulu-dulu akhirnya aku merasa seperti itu lagi. Dan aku merasakannya karenamu.

Aku hanya bisa menangis. Menangis. Menangis
Hingga pelupuk mataku membengkak, hingga suara tangisku tak lagi terdengar karena habis meraungi nyata bahwa kamu pergi sebentar lagi.

Aku terkejut. Seheboh ini reaksiku. Separah ini raungan tangisku. 
Aku pikir, aku pikir lalu tangisku pecah lagi.
Aku pikir aku sudah lupa tentang kamu.
Aku pikir 

Semua orang takut kehilangan.
Aku pun begitu.
Muncul dibenakku kamu akan sama seperti yang lalu-lalu, menghilang dalam sekejap kemudian kembali sejenak dan menghilang selamanya. Aku tak mau jika aku harus memulai dari awal. Aku takut kamu bukan lagi kamu yang aku kenal. Aku takut karena tempat di mana kau tinggal nanti terlihat nun jauh di sana. Aku takut aku akan kehilangan kamu yang mengajariku banyak. Takut kamu tidak lagi sedekat itu untuk bisa kumintai jawab atas tanyaku. Takut posisimu tidak akan bisa terisi yang lain. Takut karena hatiku ternyata masih milikmu sebelum aku mengetahui putusanmu. Takut bahwa hatiku akan mengikuti pergimu sementara kamu yang hatiku harap tak tahu akankah berharap sama sepertiku. Takut bahwa sesungguhnya aku tidak pernah ada dalam dirimu padahal kamu ada hampir di setiap diriku. Ironis.

  





Label: ,